Saturday, August 11, 2012

S.U.I.C.I.D.E


from here
Aku berdiri menghadap bathtub putih porselein berisi air dingin yang terisi hampir memenuhi tempat nanti akan ku rebahkan tubuhku. Air dingin dan jernih. Aku sudah bisa membayangkan nyaman  nya saat nanti ku pasrahkan tubuh ku di dalam nya. Dingin. Dingin. Aku sudah bisa merasakan dinginnya di pori kulit ku. Pikiran akan dinginnya memaksa ku untuk segera membuka jubah mandi putih ku. Bathtub putih, air jernih, kamar mandi yang dihiasi keramik putih dengan ornamen yang juga berwarna putih.  Sebentar lagi akan ku beri warna pekat di sekitar nuansa suci ini, aku tersenyum. Tipis. Sinis. Ah, hidup ku. Terlalu putih, berani kah aku untuk mewarnai nya juga?

Perlahan ku gerakkan tangan ku yang sudah agak sedikit gemetar, entah dari sensasi rencana ku atau dari udara kamar mandi tempat ku berdiri ini? Kubuka jalinan ikatan tali jubah mandi putih ku. Ku tanggalkan satu-satunya penutup kulit ku itu, badan polos ku sudah siap untuk merasakan jeritan dinginnya air. Saat ku langkah kan kedua kaki ku yang sudah mulai kaku, dan kemudian masuk ke dalam surga dinginnya air, batin ku berbisik sejenak. Inikah yang akan aku lakukan? “Ya”, tanpa sadar bibir putih pucat ku menggumamkan kemantapan hati ku. Sudah terlalu pedih untuk menunggu lagi. Dinginnya air sudah mulai meresap naik ke pori-pori kulit putih pucat ku. Aliran sensasi dingin merasuk, mengalir naik memanjati tiap sela tubuh ku, naik, hingga membasahi seluruh rasa ku. Belum, belum kubenamkan seluruh tubuh ku, namun rasanya sudah terpahat jelas di indra sensori ku. Saat akhirnya kubenamkan semua tubuhku... Dingin. Ini dia saatnya, ku ayunkan lengan ku, mengiris segala asa yang terasa membebat hidup ku, saat kemudian kilasan flash back muncul bagai slow motion video di memori ku dan aku penonton terbaik sambil memejamkan mata, karena hanya dengan itu aku bisa melihat nya, senyum, tawa, tangis..

Perlahan kurasakan kehangatan mengalir di kedua belah pipi ku, deras. Namun, bibir ku menyunggingkan senyum dingin. Tak lama terasa kehangatan yang lain mengalir di tangan ku, namun kali ini terasa lebih kental, pekat. Sepekat asa yang pernah kulalui dan kuiris tadi. Aku menikmati nya! Aku benar-benar menikmati nya. Semakin lama semakin deras, namun sungai di wajah ku sudah berhenti mengalir, hanya di lenganku yang masih terasa ada sesuatu yang menganak sungai. Kilatan flash back kembali menemani sisa waktu ku, aku teringat rasa gembira dan nikmat saat jarum petugas rumah sakit menembus kulitku, saat merah melewati selang menuju wadah darah di sebelah ku. Saat petugas donor tersenyum dan bertanya apa kah aku merasakan pusing dan aku hanya menjawab dengan tersenyum. “Tidak, aku hanya merasa gembira, suatu saat akan kualirkan sendiri darah ku”, batin ku yang menjawab. Ya, kali ini kualirkan sendiri darahku. Air dingin tadi sudah berubah menjadi lautan merah, pekat, seperti aku bilang tadi, sepekat asa hidup ku. Aku menikmati nya. Aku menikmati berkubang dalam nyeri ku.

Sejenak tubuh ku kehilangan tenaga, jika ada petugas donor yang bertanya sekarang apa kah aku merasakan pusing? “Ya, tapi aku bahagia, tapi aku merasa bebas!” Jerit ku. Oh, aku kira aku menjerit, ternyata suara ku hanya tercekat dibalik genangan merah ku. Ah, aku akan bebas sejenak. Sekelilingku mulai buram. Haruskah aku mulai memejamkan mata? Bebanku terasa sedikit menghilang, aku harus mempersiapkan diri untuk diadili, pikir ku. Ah, Tuhan akan menghukum ku banyak. Kenapa lama sekali? Oh, apa aku sudah mulai harus memejamkan mata? Kilasan flashback hidupku sudah mulai memudar. Semua cahaya sudah mulai memudar. Semua sensasi rasa sudah mulai memudar. Hangat nya air mata, hangat nya aliran darahku, dingin nya air, bahkan dinginnya hidup ku sudah mulai memudar.

Terakhir, aku menangkap kilasan dimana aku berumur 4 tahun memeluk ibu ku sambil menangis, “Mah, ko gelap banget. Mati lampu ya mah? Kapan nyala nya? Mah, takut... Mah, nyalain lampunya” tangis ku saat itu, kemudian ada bayangan ibu ku yang mulai memudar dan samar-samar terdengar suara lembutnya. “Iya, sayang. Hanya mati lampu kok, ada mamah disini, sudah jangan nangis nanti kita nyalakan lilin ya”. Bayangan masa kecil ku memudar, lalu hilang sama sekali.

Terlintas keinginanku untuk tetap berada di masa itu, masa yang jauh dari himpitan pekat kehidupan.

Aku kembali ke masa kini, saat tubuhku dibalut air merah sekarang, semua mulai gelap, Badan ku sudah kehilangan seluruh tenaga nya, kemudian aku hanya mendengar bisikku yang mulai tertatih dari bibir ku yang kian memucat dan, “mati lampu ya mah..” Kemudian mata ku terpejam. Lalu, sunyi. Gelap...

0 comments:

Post a Comment