from here |
Aku berdiri menghadap
bathtub putih porselein berisi air dingin yang terisi hampir memenuhi tempat
nanti akan ku rebahkan tubuhku. Air dingin dan jernih. Aku sudah bisa
membayangkan nyaman nya saat nanti ku
pasrahkan tubuh ku di dalam nya. Dingin. Dingin. Aku sudah bisa merasakan
dinginnya di pori kulit ku. Pikiran akan dinginnya memaksa ku untuk segera
membuka jubah mandi putih ku. Bathtub putih, air jernih, kamar mandi yang
dihiasi keramik putih dengan ornamen yang juga berwarna putih. Sebentar lagi akan ku beri warna pekat di
sekitar nuansa suci ini, aku tersenyum. Tipis. Sinis. Ah, hidup ku. Terlalu
putih, berani kah aku untuk mewarnai nya juga?
Perlahan ku gerakkan tangan ku
yang sudah agak sedikit gemetar, entah dari sensasi rencana ku atau dari udara
kamar mandi tempat ku berdiri ini? Kubuka jalinan ikatan tali jubah mandi putih
ku. Ku tanggalkan satu-satunya penutup kulit ku itu, badan polos ku sudah siap
untuk merasakan jeritan dinginnya air. Saat ku langkah kan kedua kaki ku yang
sudah mulai kaku, dan kemudian masuk ke dalam surga dinginnya air, batin ku
berbisik sejenak. Inikah yang akan aku lakukan? “Ya”, tanpa sadar bibir putih
pucat ku menggumamkan kemantapan hati ku. Sudah terlalu pedih untuk menunggu
lagi. Dinginnya air sudah mulai meresap naik ke pori-pori kulit putih pucat ku.
Aliran sensasi dingin merasuk, mengalir naik memanjati tiap sela tubuh ku,
naik, hingga membasahi seluruh rasa ku. Belum, belum kubenamkan seluruh tubuh
ku, namun rasanya sudah terpahat jelas di indra sensori ku. Saat akhirnya
kubenamkan semua tubuhku... Dingin. Ini dia saatnya, ku ayunkan lengan ku, mengiris
segala asa yang terasa membebat hidup ku, saat kemudian kilasan flash back
muncul bagai slow motion video di memori ku dan aku penonton terbaik sambil
memejamkan mata, karena hanya dengan itu aku bisa melihat nya, senyum, tawa,
tangis..
Perlahan kurasakan kehangatan mengalir di kedua belah pipi ku, deras.
Namun, bibir ku menyunggingkan senyum dingin. Tak lama terasa kehangatan yang
lain mengalir di tangan ku, namun kali ini terasa lebih kental, pekat. Sepekat
asa yang pernah kulalui dan kuiris tadi. Aku menikmati nya! Aku benar-benar
menikmati nya. Semakin lama semakin deras, namun sungai di wajah ku sudah
berhenti mengalir, hanya di lenganku yang masih terasa ada sesuatu yang
menganak sungai. Kilatan flash back kembali menemani sisa waktu ku, aku
teringat rasa gembira dan nikmat saat jarum petugas rumah sakit menembus
kulitku, saat merah melewati selang menuju wadah darah di sebelah ku. Saat
petugas donor tersenyum dan bertanya apa kah aku merasakan pusing dan aku hanya
menjawab dengan tersenyum. “Tidak, aku hanya merasa gembira, suatu saat akan
kualirkan sendiri darah ku”, batin ku yang menjawab. Ya, kali ini kualirkan
sendiri darahku. Air dingin tadi sudah berubah menjadi lautan merah, pekat,
seperti aku bilang tadi, sepekat asa hidup ku. Aku menikmati nya. Aku menikmati
berkubang dalam nyeri ku.
Sejenak tubuh ku kehilangan tenaga, jika ada petugas
donor yang bertanya sekarang apa kah aku merasakan pusing? “Ya, tapi aku
bahagia, tapi aku merasa bebas!” Jerit ku. Oh, aku kira aku menjerit, ternyata
suara ku hanya tercekat dibalik genangan merah ku. Ah, aku akan bebas sejenak.
Sekelilingku mulai buram. Haruskah aku mulai memejamkan mata? Bebanku terasa
sedikit menghilang, aku harus mempersiapkan diri untuk diadili, pikir ku. Ah,
Tuhan akan menghukum ku banyak. Kenapa lama sekali? Oh, apa aku sudah mulai
harus memejamkan mata? Kilasan flashback hidupku sudah mulai memudar. Semua
cahaya sudah mulai memudar. Semua sensasi rasa sudah mulai memudar. Hangat nya
air mata, hangat nya aliran darahku, dingin nya air, bahkan dinginnya hidup ku
sudah mulai memudar.
Terakhir, aku menangkap kilasan dimana aku berumur 4 tahun
memeluk ibu ku sambil menangis, “Mah, ko gelap banget. Mati lampu ya mah? Kapan
nyala nya? Mah, takut... Mah, nyalain lampunya” tangis ku saat itu, kemudian
ada bayangan ibu ku yang mulai memudar dan samar-samar terdengar suara
lembutnya. “Iya, sayang. Hanya mati lampu kok, ada mamah disini, sudah jangan
nangis nanti kita nyalakan lilin ya”. Bayangan masa kecil ku memudar, lalu
hilang sama sekali.
Terlintas keinginanku untuk tetap berada di masa itu, masa
yang jauh dari himpitan pekat kehidupan.
Aku kembali ke masa kini, saat tubuhku
dibalut air merah sekarang, semua mulai gelap, Badan ku sudah kehilangan
seluruh tenaga nya, kemudian aku hanya mendengar bisikku yang mulai tertatih
dari bibir ku yang kian memucat dan, “mati lampu ya mah..” Kemudian mata ku
terpejam. Lalu, sunyi. Gelap...
0 comments:
Post a Comment